Menjadi yang Paling Tua
Rabu, 8 Desember 2021 23:59 WIB
Pagi yang kesekian, aku sudah tak mampu menghitungnya lagi. Segala sesuatu selalu bergulir sama setiap harinya. Boleh dikata aku sedang terperangkap dalam rutinitas monoton dan manusia-manusia konstam yang menjemukan. Terbangun karena semburat ranum yang dilahirkan mentari, menyingkap selimut kumal milik istriku, beringsut menuju kamar mandi untuk membanjur tubuh yang sudah sepenuhnya keriput–terlihat seperti kulit yang dilelehkan–, mengenakan pakaian yang tersisa di lemari, biasanya dipenuhi dengan kemeja jadul dengan corak lawas khas kakek-kakek, selalu seperti itu.
Kehidupan ini terasa layaknya lintasan yang sengaja dirancang tidak memiliki ujung. Enggan menjumpai garis akhir. Namun, aku terpaksa harus mencerup atmosfer Edinburgh sampai hari ini, karena ajal belum berniat menghampiriku. Setidaknya eksistensi Beau–kucing peliharaanku–masih dapat kugapai. Dia selalu berada di sampingku, entah untuk menjagaku seperti yang dulu kerap ia lakukan atau sekedar mencari teman untuk menandaskan akhir hidupnya–dia sudah jompo, sama sepertiku–
Biar kujelaskan agar kalian semua mengerti. Aku satu-satunya orang di kota ini dengan usia yang sudah melampaui angka delapan puluh, dalam artian lain, aku adalah penduduk tertua di Edinburgh. Terserah kalian ingin percaya atau tidak. Namun, aku benar-benar menurutkan fakta–realita– Terkadang rasa kesal berhasil menduduki diriku karena remaja-remaja yang hilir mudik memadati kota ini hanya bisa melakukan hal-hal tolol dan menjengkelkan, melempar puntung rokol yang ujungnya masih membara, mengendarai kendaraan dengan kepala yang berputar-putar–kesadaran mereka pasti berada di ambang batas–, berpamitan pada orang tua untuk menjadi liar di sebuah klub malam. Benar-benar tak habis pikir, mereka terlihat seperti segerombol kaum dungu yang hanya bisa menganga saat kita bertanya mengenai pengetahuan dasar.
"Kalian sangat menjijikan," ujarku kala itu sembari memandang remeh. Sebelum bergidik samar dengan tampang sepat.
"Kakek selalu mengajukan protes, lebih baik ikut bersama kami," bujuk salah satu di antara baris muda-mudi yang tengah mereguk cairan pekat–mabuk–
"Ya, benar. Kami tunggu nanti malam."
Kegamanganku tidak sampai di situ saja, setelah aku menyadari sepenuhnya bahwa aku telah menjadi tetua di kota ini, aku kerap bersua dengan rupa-rupa asing yang sering terlihat mirip satu sama lain. Saat itu aku sempat berpikir bahwa penglihatanku menyusut–bertambah buruk–, tapi ternyata bukan itu yang menjadi penyebabnya. Jujur saja sampai sekon ini, aku belum berhasil menemukan sebab dari perihal yang satu itu. Namun, tak jarang aku menyodorkan pertanyaan pada orang-orang asing itu, tak jarang juga aki dihadiahi tampang masam. Kurang ajar.
"Kalian semua terlihat memiliki wajah yang tak jauh beda," kataku petang itu pada salah seorang yang melintasiku dengan tergesa, saat tengah mencoba membelah hiruk pikuk yang kian mengamuk.
"Aduh, Kek. Jangan bertanya di tengah jalan."
"Anda bisa terdesak orang-orang," sambungnya sedikit menaruh afeksi padaku. Namun, gurat wajahnya tetap menyuratkan ketus dan apatis.
"Ya, ya. Terima kasih sudah menanggapiku, wahai pria dewasa," ledekku menahan dongkol yang perhalan menyelinap ke permukaan kulit sebelum merambah melalui pembuluh darah.
Yang terakhir dan yang paling sering membuatku terjaga setiap pukul dua dini hari hanya untuk merenung di atas ranjang–memikirkan dengan tekun–, setiap aku berjumpa dengan orang baru dan aku menjabat telapak tangan mereka lalu bertanya, "Siapa nama Anda?" Mereka akan menjawab dengan serentak dan sumringah, "Kami tidak mengetahui siapa nama kami."
Bagaimana bisa seorang bayi yang menyembul dari rahim hangat penuh cairan itu tidak menyandang sebuah nama? Dan bagaimana bisa mereka terlihat baik-baik saja? Bahkan hal itu tampak seperti bukan masalah besar yang patut dipertimbangkan atau segera dituntaskan. Mereka terlihat persetan dengan rangkaian nama yang seharusnya menjadi bagian dari diri mereka.
Pernah suatu kali aku bertanya pada mereka saat tak sengaja bersemuka di sebuah kedai kopi, "Bagaimana bisa kaliam tidak mempunyai nama?" tanyaku ganjil penuh kebingungan.
Lalu mereka akan menjawab dengan kalem dan ringan layaknya bocah kecil yang tengah mencoba menantang lawan bicaranya, "Kami tidak terlalu memedulikam hal itu, Kek."
"Saat ini sudah banyak orang tua yang enggan menghadiahkan sebuah nama yang sering disebut sebagai anugerah itu, Kek," sambung salah seorang dari mereka–gadis delapan belas tahun yang berperawakan menyerupai pria dewasa yang sering pergi ke pusat kebugaran.
"Toh, doa dan harapan orang tua tidak selalu terkabul saat mereka memutuskam memberikan nama pada anak-anak mereka."
Namun segala rasa heran juga tak habis pikir yang selama ini mendera pikiranku tiba-tiba melesap. Kejanggalan juga kekesalanku seketika lenyap. Segera aku sadari bahwa mulai detik ini, ragaku sudah tidak mendekam di sini lagi. Atmaku sudah berkelana untuk menemukan tempat yang terbaik di sebalik awan, nirwana. entitasku di kota ini hanya tinggal ingatan dan kenangan yang perlahan akan meluruh.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Menjadi yang Paling Tua
Rabu, 8 Desember 2021 23:59 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler